PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas.
Sebatang pohon filicium tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku,
memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada
setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di
depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD.
Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu
miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu
berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah
seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah
dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti
ayahku, mereka berdua juga tersenyum.
Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak
jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali
menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir
sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik
keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang
dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi
permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.
Download